Kamis, 10 Mei 2012

Satu jiwa, seribu perkara


Bagai disambar petir di siang bolong. Geger, gempar, menggelegar, dan apapun itulah namanya. Sejiwa yang hanyalah anak baru gede, tak mengerti apa artinya sebuah pengabdian. Sejiwa mengartikan pengabdian seorang yang lebih tua darinya yang bekerja sebagai pencerdas bangsa  hanya sebagai tempat persinggahan untuk mengambil ilmu saja tanpa menelaah arti sebuah ilmu. Sejiwa yang memang jiwanya sedang bergejolak panas membara, tak menerima akan sikap orangtua itu yang dengan penuh pengabdiannya mengajarkan dirinya untuk hidup lebih disiplin. Jiwa menganggap apa yang dilakukan orangtua itu tak lebih hanya sebuah tindakan kesewenangan. Jiwa benar-benar dibutakan akan kesalahan yang dibuat oleh pikirannya sendiri. Ia tidak memandang sebuah kesalahan sebagai pelajaran. Baginya semua tindakan kesewanangan hanya dianggap sebuah kesalahan yang tidak bisa ditolerin. Memang sebuah tindakan berani dari anak yang sedang mencari jati diri. Ketidak terimaan jiwa membuat dirinya salah jalan, tanpa pikir panjang jiwa mengambil tindakan yang membuat satu tempat tinggalnya harus bertekuk lutut dihadapannya. Jiwa memperkarakan tindakan orangtua tersebut ke orang yang mempunyai kuasa hukum tertinggi. Orangtua jiwa tak terima atas tindakan orangtua yang melakukan tindak pendisiplinan terhadap anaknya. Apa yang dikatakan jiwa tak sejalan dengan kenyataan yang ada. Orangtua tersebut dengan legowonya menahan amarah dan cacian dari orangtua jiwa. Tak dibalas dengan hinaan tapi dengan senyum yang mengembang dan sikap kesatria orangtua tersebut, dia mencoba meluruskan apa yang terjadi. Sepertinya benar apa yang dikatakan orang “like father like son”ternyata jiwa mempunyai sosok yang tak jauh dari sang ayah. Ayah jiwa langsung saja menghardik dan menghukum orangtua tersebut. Semakin melebar perkaranya, tapi tak menyurutkan nyali orangtua yang sudah dizalami oleh jiwa. Hati dibesarkan, pikiran dibuka lebar orangtua itu datang untuk meminta maaf atas tindakannya kepada jiwa jikalau tindakannya itu salah.sungguh jiwa heroic,tak memandang siapa yang benar dan siapa yang salah ia berjalan sendiri perlahan tapi pasti. Banyak orang yang menyanjung jiwa heroic orangtua yang sudah dizalami itu, dan banyak juga jiwa-jiwa yang lain yang memandang sinis kepada jiwa dan orantuanya. Seperti ditampar oleh seorang raksasa, ayah jiwa menangis setalah mendengar duduk perkara yang sebenarnya. Ternyata perilaku jiwa tak sejalan dengan jiwanya yang bergejolak. Ayah jiwa menyadari bahwa dalam diri jiwa terdapat aliran deras sifat dari sang ayah. Satu jiwa benar-benar membuat seribu pekara. Namamu jiwa tapi seakan tak bernyawa, namamu jiwa tapi tak punya senyawa keberanian untuk mengakui kesalahan, dan namamu jiwa tapi tak seperti pahlawan yang berjiwa besar. Sungguh kau jiwa bergejolak membuat perkara. Dan orangtua yang berjiwa besarlah yang pantas mendapat gelar jiwa sejati. Jiwa yang menjatuhkan jiwanya sendiri, jiwa yang telah menghukum jiwa-jiwa lain, dan jiwa yang telah membuat perkara terhadap jiwa-jiwa yang tak bersalah. Sungguh kau jiwa berjaya hanya disaat kau tak berdaya. Belajarlah untuk menjadi jiwa yang sesungguhnya..Allah menyukai jiwa yang tentram, damai, dan berjiwa besar. Pikiran dahulu sebelum kau maju dengan jiwa amarahmu..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar